Saat ini Indonesia sedang disibukkan dengan pembahasan
beberapa koalisi partai politik (parpol) menjelang pemilihan presiden.
Pertama-tama ada koalisi kebangsaan, lalu Golkar-Hanura, kemudian Partai
Demokrat-PKS-PPP-PAN-PKB. Terakhir adalah koalisi PDI Perjuangan-Gerindra
melalui deklarasi Megawati-Prabowo sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil
Presiden. Ada yang berpendapat bahwa koalisi sekarang sebatas pencarian
kekuasaan. Ada juga yang mengatakan ini sebagai langkah strategis untuk
pembangunan bangsa lima tahun ke depan. Dalam tulisan ini koalisi merupakan
langkah strategis dalam menentukan positioning dan pembentukan citra
sebuah parpol.
Positioning menjadi
penting di tengah sistem ultra parpol di Indonesia seperti sekarang. Tanpa positioning
yang unik maka sebuah parpol akan sulit membedakan dirinya dari yang lain. Positioning
berguna tidak hanya pada masa pemilu tapi juga saat pemerintahan berjalan. Bila
saat pemilu fungsinya adalah menarik perhatian pemilih maka pada saat
pemerintahan berjalan positioning dapat berguna untuk menjalin hubungan
dengan masyarakat. Selama masa menjalin hubungan inilah dapat dilakukan
pembentukan atau penguatan citra parpol yang bertujuan untuk menguatkan
hubungan antara parpol dengan masyarakat.
Ada dua cara untuk
mengklasifikasikan sebuah parpol dalam positioning. Cara pertama adalah
berdasarkan teori political marketing. Dalam teori ini, dikenal empat
jenis positioning parpol, yaitu pemimpin, penantang, pengikut dan nicher.
Sebuah parpol dapat dikatakan memiliki posisi pemimpin ketika memiliki suara
terbanyak atau memiliki jumlah kursi terbanyak di parlemen atau sedang menjadi incumbent.
Untuk posisi penantang, bukan berarti parpol yang memiliki jumlah suara atau
kursi kedua terbanyak di parlemen. Hal yang menentukan adalah sikap politik
yang berseberangan dengan/menantang parpol yang memiliki posisi pemimpin.
Parpol dengan posisi pengikut adalah parpol dengan jumlah
suara atau kursi yang kecil tapi keberadaannya masih dalam skala nasional.
Kecenderungannya parpol dengan posisi ini akan mengikuti antara parpol pemimpin
atau penantang. Parpol dengan posisi pengikut juga akan lebih banyak
menghindari konfrontasi dengan lawan. Sedangkan parpol dengan posisi nicher
adalah parpol dengan jumlah suara atau kursi yang kecil tapi tidak memiliki
keberadaan dalam skala nasional. Umumnya parpol dengan posisi nicher
memiliki fokus hanya kepada beberapa isu atau kelompok konstituen yang khusus.
Cara kedua untuk menglasifikasikan positioning sebuah
parpol adalah melalui aliran politik yang dianut oleh parpol tersebut. Ada
beberapa poros aliran politik yang dominan di dunia saat ini. Mereka adalah
poros religius-liberal (cakupan agama dalam negara), otoriter-demokratis (kekuasaan
politik), dan neoliberal-kerakyatan (kebijakan ekonomi). Poros-poros ini tidak
bersifat eksklusif karena sebuah parpol bisa saja terdapat dalam beberapa
poros. Religius tapi neoliberal atau otoriter tapi kerakyatan.
Di Indonesia umumnya parpol digolongkan berdasar pada aliran
politik yang menjadi platform mereka. Contoh yang paling jelas tentu
parpol-parpol yang berbasiskan agama seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), dll. Contoh lain adalah parpol dengan platform Nasionalisme
Pancasila Soekarnois seperti PDI Perjuangan, Partai Demokrasi Pembaruan, dan
Gerindra. Lalu ada juga parpol-parpol seperti Golkar, Demokrat dan Partai
Keadilan dan Persatuan yang berkarakteristik lebih kurang sebagai parpol dengan
platform Nasionalis. Perbedaan platform ini yang menjadi positioning
mereka antara satu dengan yang lain.
Positioning
berdasarkan teori political marketing dapat kita gunakan saat melihat
parpol-parpol dalam periode 2004-2009. Terlihat jelas bahwa Golkar dan Demokrat
bertindak sebagai parpol dengan posisi pemimpin dan PDI Perjuangan merupakan
parpol dengan posisi penantang (oposisi). Kemudian PKB, PAN, dll dapat
diklasifikasikan sebagai parpol dengan posisi pengikut. Sedangkan parpol
seperti PKS dapat diklasifikasikan sebagai parpol dengan posisi nicher.
Dikenalnya parpol dengan platform politik serta positioning
mereka menurut teori political marketing menjadi identitas atau citra
parpol tersebut.
Seperti pembangunan citra di ranah bisnis, pembangunan citra
parpol juga tidak dapat dihasilkan dalam waktu singkat. Bagi parpol seperti
Golkar dan PDI Perjuangan, citra mereka sudah melekat erat dengan
keberadaannya. Golkar dengan perjalanan historis yang menimbulkan citra sebagai
parpol yang terkait dengan pemegang kekuasaan. PDI Perjuangan walaupun baru
berumur 10 tahun tapi dengan landasan historis dan kultural membuatnya menjadi
pemilik citra partai wong cilik dan Nasionalisme Pancasila Soekarnois. Begitu
juga dengan PKB, PAN dan PKS yang citranya berkaitan erat dengan organisasi
agama yang menjadi dasar suara mereka. Terutama untuk PKB dan PAN yang
organisasi agamanya sudah terlebih dahulu terkenal sebelum parpolnya terbentuk.
Dari penjabaran tersebut, terlihat bahwa positioning parpol
akan menentukan citra mereka di depan rakyat/pemilih. Positioning akan
lebih mudah bagi parpol yang sudah memiliki platform yang kuat seperti
PDI Perjuangan, Golkar, PAN dan PKB. Bagi parpol baru akan lebih mudah
melakukan positioning dengan mengikuti aliran political marketing
seperti yang dilakukan Demokrat dan PKS. Demokrat memosisikan dirinya sebagai
parpol pemimpin karena memenangkan pemilu 2009. Sedangkan PKS sejak awal
didirikan telah memosisikan dirinya sebagai parpol nicher.
Koalisi antar parpol juga merupakan bentuk positioning
bila dilakukan secara strategis. Saat masa Gus Dur dan Megawati dikenal koalisi
“Poros Tengah” yang merupakan kumpulan parpol dengan platform Islam.
Koalisi kebangsaan dibentuk berdasarkan persamaan tujuan menentang kecurangan
pelaksanaan pemilu oleh beberapa pihak. Koalisi Demokrat-PPP-PKS-PAN-PKB dapat
disebut sebagai koalisi untuk memegang posisi pemimpin. Koalisi PDI Perjuangan
dan Gerindra dapat dilihat sebagai koalisi yang wajar karena persamaan platform
politik mereka.
Khusus untuk yang terakhir, Gerindra mendapat manfaat lebih
karena dengan berkoalisi bersama PDI Perjuangan maka Gerindra telah menguatkan positioning
mereka yang belum berakar dalam di masyarakat. Bahkan melalui koalisi ini
mereka turut menguatkan citra “partai bagi rakyat kecil” setelah sebelumnya
Prabowo secara structural menjadi ketua asosiasi pedagang tradisional dan
himpunan petani di Indonesia.
Sedangkan keuntungan yang didapat oleh PDI Perjuangan adalah
penyegaran citra agar dapat menarik pemilih dari luar basis suara mereka. Ini
menjadi penting karena dua hal. Pertama, beberapa hasil survei menunjukkan
bahwa swing voters berperan besar dalam menentukan pemenang pemilu, baik
legislatif atau pilpres. Kedua, hasil survei juga menujukkan bahwa PDI
Perjuangan kurang mendapat sambutan dari kalangan perkotaan besar. Keberadaan
Gerindra sebagai partner koalisi mereka, memungkinkan PDI Perjuangan untuk
menarik dukungan dari kedua kelompok pemilih/pendukung tersebut. Ini karena
Gerindra adalah sebuah partai baru yang maish fleksibel dalam menarik massa.
Penguatan citra juga diperoleh PPP, PAN dan PKB dengan
berkoalisi bersama Demokrat. Dalam pemilu kali ini, ketiga partai tersebut
telah kehilangan banyak suara dan bisa disebut tidak lagi masuk kelompok partai
‘besar’. Melalui koalisi bersama Demokrat, dan bila Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) kembali terpilih menjadi Presiden, maka ketiga partai itu dapat
menguatkan citra mereka yang sudah melemah di pemilu sekarang.
Untuk PKS, koalisi mereka dengan Demokrat bukan untuk
menguatkan tapi untuk mengubah positioning dan citra mereka. Bila
sebelumnya PKS adalah parpol dengan posisi nicher, maka saat ini mereka
sedang memerluas jangkauannya. Golongan lain yang bukan dari kantung suaranya
sudah mulai mereka coba gapai di pemilu kemarin. Melalui koalisi ini, PKS
menunjukkan bahwa mereka memang berniat untuk berkembang dan merangkul lebih
bayak pemilih. Bisa disebutkan bahwa sekarang mereka berusaha untuk menempati
posisi parpol pengikut.
Tentunya positioning dan pembentukan citra hanya dua
dari sekian banyak variabel yang dipertimbangkan saat sebuah parpol ingin
membentuk koalisi dengan parpol lain. Tulisan ini ingin memperlihatkan bahwa
sebagai strategi politik, koalisi dapat digunakan pula untuk membentuk positioning
dan citra parpol. Bila dilakukan dengan perspektif jangka panjang maka hasil
yang didapat akan bisa maksimal. Sedangkan bila dilakukan dengan perspektif
jangka pendek maka hasil yang didapat bisa menjadi negatif, seperti sekarang
ini dengan adanya istilah ‘pembagian kekuasaan’. Terlebih lagi, koalisi dengan
perspektif jangka pendek, di kemudian hari bisa muncul pendapat bahwa parpol
tersebut oportunistik karena tidak memiliki positioning atau citra yang
unik dan jelas. Dampak akhir yang negatif tentunya adalah parpol tersebut tidak
mendapat dukungan dari masyarakat. Sebaliknya dampak akhir yang positif adalah
masyarakat mengasosiasikan parpol dengan ciri khas dan citra tertentu yang
membedakannya dengan parpol lain.